welcome to my simple writing, may be useful for us all, amen

Akhirnya penyuntingan Campus Pelangi selesai juga, meski banyak yang belum sempurna. Namun, karena kesempurnaan hanya milik Tuhan, jadi sepertinya tidak apa-apa jika blog saya ini tidak sempurna. (ngeles mode : ON) ^_^

Seperti yang saya tulis dalam ucapan Selamat Datang, Chu Pelangi, ini adalah tempat di mana ketujuh warna terkumpul. "Terkumpul" loh ya!, bukan "berkumpul". Sebab kata "terkumpul" dan "berkumpul" memiliki makna yang berbeda. "Berkumpul" artinya sengaja mengumpulkan diri, dan "terkumpul" artinya tidak sengaja berkumpul. Yah, begitulah kira-kira. :)

hooooh.. indahnya pelangi itu di antara derasnya air terjun di atas sungai yang tenang.. seandainya aku di sana.. dan menjadi sebutir embun di dalamnya

Minggu, 14 November 2010

MENYALAHKAN UNDANG-UNDANG PENDIDIKAN

Ditulis oleh Hadi Supeno :
Wakil Presiden Dr. Drs. H. Mohammad Jusuf Kalla adalah sedikit dari para pemimpin kita yang menaruh perhatian kepada dunia pendidikan. Menyikapi pro kontra penyelenggaraan ujian nasional (UN), ia dengan tegas membela penyelenggaraan UN tersebut dengan alasan para siswa perlu standarisasi nasional, dalam rangka mengejar ketertingalan daya saing bangsa dalam skala internasional.

Masih soal daya saing, Wapres mengkritik bahwa salah satu sebab merosotnya mutu pendidikan kita karena para guru rendah dalam hal kemampuan membaca buku. Ia menyarankan, daripada demo, lebih baik para guru membaca buku.

Yang masih hangat dalam ingatan kita adalah tanggapan atas demo ribuan guru dari berbagai daerah yang menuntut realisasi 20 % anggaran pendidikan dari APBN sesuai amanat konstitusi dan keputusan Mahkamah Konstitusi (MA) dalam dua kali uji materi terhadap UU APBN.

Menurutnya, UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tidak adil. Dalam UU itu komponen gaji guru dan pendidikan kedinasan diletakkan di luar anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari total APBN.

“Masak kepala dinas membeli penyejuk udara untuk ruang kerja atau mobil dinas masuk dalam hitungan anggaran pendidikan, tetapi gaji guru dan kedinasan tidak masuk dalam anggaran pendidikan”ujar Wapres dalam dialog dengan sekitar 100 mahasiswa Indonesia di Kuala Lumpur, Malaysia. (Kompas, 23 Juli 2007).

Ia melakukan pembelaan, bahwa pemerintah telah berupaya dengan seluruh kemampuannya untuk dapat memenuhi tuntutan 20 persen anggaran pendidikan. Jika komponen gaji guru dan pendidikan kedinasan yang jumlahnya mencapai Rp 30 triliun dimasukkan, Wapres mengklaim, sudah 17,5 persen dialokasikan APBN untuk anggaran pendidikan.

Wapres menambahkan, soal anggaran pendidikan harus dilihat dari dua sisi, yaitu persentase dan nominalnya. Tahun 2007, anggaran meningkat sangat besar menjadi 44 triliun sehingga membuat Menteri Pendidikan bingung, maka dibuatlah kupon pendidikan. Wapres tak yakin Depdiknas memiliki program utuh jika anggaran pendidikan 20 persen dipenuhi saat ini. Pembagian kupon pendidikan adalah contoh ketidaksiapan itu.

“Jika anggaran dipenuhi sekarang, mau di-apain? Rencananya apa? Ujar Wapres sebagaimana dikutip Kompas.

Siapa yang tidak adil?

Membaca berita tersebut saya dan teman-teman peminat masalah pendidikan langsung terlibat dalam sebuah diskusi gayeng. Kesimpulan pertama yang diperoleh adalah sebuah keanehan dari sikap Wapres yang tentu saja sikap pemerintah. Aneh karena yang disalahkan adalah undang-undangnya.

Kami pun para guru bertanya, yang membuat undang-undang siapa? Bukankah Undang-undang dibuat oleh pemerintah dan DPR, jadi yang tidak adil pemerintah dan DPR. Saat diambil sumpah dan janji, tugas pemerintah adalah menjalankan undang-uandang. Undang-undang, bahkan Undang-Undang Dasar secara eksplisit menyebut angka 20 persen APBN untuk pendidikan. Pasal 49 UU Sisdiknas terang benderang menyebutkan;” Dana pendididikan selain gaji pendidik dan baiaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 % dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)”. Nah jadi mengapa mesti perdebatannya bukan soal ketersediaan dana dan skala prioritas, tetapi payung hukum produk pemerintah sendiri. Apakah itu bukan berarti Wapres sedang mengatakan bahwa pemerintah tidak adil?

Kedua, Wapres meragukan penggunaan dana pendidikan. Pertanyaan;”Jika anggaran dipenuhi sekarang, mau diapain?” adalah menggambarkan betapa pemerintah tidak menguasai persoalan pendidikan yang sesungguhnya. Atau setidaknya, Menteri Pendidikan tidak memberikan laporan komprehensif perihal persoalan pendidikan di lapangan yang masih sangat sangat sangat membutuhkan biaya pendidikan.

Tidak perlu ke Merauke, Sentani, Maumere, atau Nias. Di Pulau Jawa pun masih banyak gedung-gedung SD yang nyaris ambruk, mebelair yang rusak parah, dan sarana belajar di bawah standar. Belum lagi soal kritik Wapres sendiri mengapa guru rendah dalam membaca, karena tidak tersedia buku bacaan untuk mereka.

Semestinya semua standar minimal terlebih dahulu dipenuhi. Itu bisa dilakukan bila katakanlah dari APBN 2007 Rp 730 triliun, setelah dikurangi belanja aparat masih tersedia Rp 350 triliun, berarti 20 % dari Rp 350 triliun ada Rp 70 triliun. Apabila setiap tahun tersedia anggaran belanja modal minimal senilai Rp 70 trliun, berbagai kebutuhan penyelenggaraan pendidikan relatif bisa dipenuhi, termasuk untuk peningkatan mutu. Pada saat itulah relevan bila kita bicara soal standasisasi nasional, karena ada penyiapan kondisi di lapangan.

Ketika para pemimpin bicara soal sukses recovery ekonomi dengan indikator makro yang semua positif termasuk cadangan devisa negara mencapai USD 51 miliar, cukup aneh bila amanat konstitusi nekad untuk dilanggar. Kalau begitu, kegagalan memenuhi 20 % APBN untuk pendidikan disebabkan undang-undang yang tidak adil ataukah komitmen yang rendah?

Ketiga, karena yang dituduh tidak adil oleh Wapres adalah undang-undangnya, sangat mungkin dalam waktu dekat akan dilakukan amandemen UU Sisdiknas dengan target utama menghapus ketentuan alokasi 20 % APBN untuk pendidikan. Begitu yakinnya Wapres atas visi pendidikannya hingga menyatakan siap tidak populer dan menantang untuk tidak dipilih pada tahun 2009.

Bila itu yang terjadi, artinya perjuangan kaum pendidik, dan komunitas pendidikan lainnya belum berakhir. Pada sisi lain hendaknya hal ini menyadarkan kepada kita, bahwa bunyi undang-undang tidaklah berarti semuanya selesai, karena akhirnya bergantung pada sikap, visi, komitmen dan kemauan politik pemerintah.

Seperti ditegaskan para founding fathers dalam penjelasan UUD 1945 (asli) bahwa lebih dari pasal-pasal dalam UUD, yang terpenting adalah semangat para penyelenggara negara.**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar